Oleh: Mirza Mudzaffar
Koruptor tak sepenuhnya salah. Dari sekian banyak hal ’bejat’ yang mereka lakukan terhadap masyarakatnya sendiri, mereka tak sepenuhnya salah. Ya, saya tak salah tulis mengenai diksi barusan. Bukan ketidaksengajaan dan bukan typo, ini murni statement pribadi saya.
Saya pribadi bukanlah seorang judger, profesor, apalagi Tuhan, melainkan hanya bagian komponen masyarakat itu sendiri. Namun demikian, saya pribadi percaya bahwa para koruptor yang selalu mendapat diskon masa tahanan itu, adalah seorang yang tidak sepenuhnya menanggung kesalahan, melainkan ada sebagian lain yang juga wajib menanggung kesalahan tersebut.
Lihat saja, apabila para ’tikus’ itu ketahuan melakukan aksi kotornya, masyarakat akan berteriak serta berdiri sambil menunjuk, ”Koruptor itu harus dibasmi! Mereka merugikan masyarakat! Pemerintah menangkap pencuri kecil, namun tidak dengan pencuri besar! Pemerintah harus adil menghukum mereka!”. Air liurnya seakan terus keluar bagaikan senapan mesin.
Almameter kampus yang berwarna kuning, hijau, biru, dan sebagainya, turut bergabung dengan masyarakat hingga memblokade jalan-jalan umum. Tak lupa, toa yang di-slempang-kan di bahu dan baner-baner bertuliskan cemooh terhadap pemerintah seakan ombak pasang di tengah kota. Bunyi-bunyi kerasnya toa juga bagaikan suara ombak pasang tersebut.
Jalan-jalan tempat demonstrasi pun penuh dengan sampah para demonstran, seakan sampah laut selatan. Fasilitas umum seperti lampu, tembok, dan pagar-pagar disulap oleh mereka menjadi kanvas sehingga menjadi karya seni yang memukau, bak Festival Holi India.
Apa yang masyarakat demonstrasikan dan tuntut tak sepenuhnya salah. Melainkan setelah mereka pulang dari jalan-jalan itu, mereka akan kembali ke kehidupannya. Memungut besi rel kereta api, mencabut kabel internet, mengambil alat pendeteksi gempa, menjarah truk yang tergelimpang, hingga me-looting warung yang terbakar.
Ketika masyarakat tertangkap melakukan aksinya itu, mereka malah berkata, ”Semua barang di dunia ini milik Allah.” Baju putih, peci putih, tak lupa sorban yang dilingkari di leher, seakan demo, mereka juga berdiri saat peradilan sambil menunjuk ke atas dengan lantang, ”Demi Allah! Demi Allah!”. Suaranya begitu mengelegar walau tanpa pengeras suara.
Mereka menyangkal seluruh argumen hakim dengan dalih-dalih agama yang mereka pelajari sedari kecil. Ayat-ayat suci dilontarkan dan hadist-hadist berterbangan memenuhi ruangan sidang hingga bagian sudut-sudut yang sempit sekalipun.
Mereka seakan hafal seluruh Al-Quran dan hadist, hanya saja minus implementasi akannya. Sungguh aneh bukan?
Lebih lucu lagi seorang yang katanya ’santri’, mempelajari kitab suci secara mendalam
selama bertahun-tahun, namun perilakunya sama saja seperti koruptor dan masyarakat di atas. Mengambil lauk yang bukan jatahnya, men-ghosob barang temannya, memungut uang di jalan sebagai uang pribadi, hingga berkata ”saya sudah sholat.” yang padahal belum.
Saat waktunya ujian pun sama saja. Para penuntut agama itu menggunakan kata ”kekompakan” sebagai perisai dan backing-an mereka dari tuduhan pencontekan. Mereka menjalaskan secara berbusa-busa bahwasanya kerjasama dalam ujian merupakan bentuk solidaritas antarteman, sehingga tindakan menyontek adalah hal yang sah-sah saja bagi mereka.
Sama halnya dengan masyarakat, ketika para santri itu di-judge oleh orang-orang awam atas kesalahannya, mereka menjawab tuduhan itu dengan berkata, ”Kamu mana paham ilmu agama.” ”Kamu mana ngerasain rasanya jadi santri.” ”Main mu kurang jauh.”. Saya kerap kali menemukan argumen mereka ini di kolom komentar media sosial.
Kemudian, ada juga yang ketika ditanya ”Kamu belajar ilmu agama, kan? Kamu paham, kan? Terus kenapa masih melanggar perintah Allah?”, mereka merespon perkataan itu dengan bola mata yang melihat langit serta wajah cengar-cengir khas anak kecil yang ketahuan makan permen oleh ibunya.
Dengan demikian, apa bedanya masyarakat, santri, dan koruptor?
Munafik, sungguh munafik! Saya bersumpah bahwa tulisan ini bukanlah advokasi atas pemerintah! Saya pribadi hanya menyampaikan opini, bahwasnya masyarakat dan santri adalah seorang koruptor yang munafik! Tentu tak seluruh dari mereka adalah munafik, namun mereka yang selalu koar-koar membenci koruptor namun mengalir barang haram di tubuhnya.
Memang rasanya tidak adil membandingkan perilaku penjarahan truk serta pengambilan lauk dengan uang 271 trilliun. Juga, rasanya sangat logical-fallacy sehingga mengeneralisasi semua masyarakat dan santri adalah koruptor, iya kan? Namun mengapa mereka selalu mengeneralisasi bahwa mereka yang selalu dirugikan, bukankah orang-orang di dalam pemerintahan berasal dari mereka juga? Iya, kan?
Menurut opini pribadi, jika ditarik garis, koruptor adalah seseorang yang lahir dan dibentuk oleh perilaku masyarakat itu sendiri. Para koruptor, yang sebelumnya termasuk masyarakat, terbiasa melihat lingkungannya tersebut sedari kecil, sehingga ketika besar mereka merepresentasikan apa yang mereka lihat atas masyarakat kala mereka kecil itu.
Kini, sudahkah paham mengapa masyarakat dan santri adalah koruptor dan koruptor tak sepenuhnya salah, dan masyarakat turut wajib menanggung kesalahan para koruptor? Tak pelaknya mereka memang seorang yang bejat juga.